Minggu, 31 Maret 2013

KRL Ekonomi: Sebuah Pesan, Sebuah Kesan.

Akhir-akhir ini gue dibuat gundah gulana oleh keputusan PT KAI menghentikan operasional KRL Kelas 3. Oke mungkin ini terdengar berlebihan, tapi itulah yang gue rasakan. Suasana bersama sepoi angin yang terus menerpa gue saat berjibaku di pintu kereta tua akan musnah, termakan udara (yang katanya segar) dari freon AC yang ngga dingin-dingin amat. Disini gue engga mau sok pinter meghujat keputusan PT KAI dengan statement-statement yang enggak berguna, karena gue tahu pasti mereka pun punya alasan tersendiri. Tapi kalo gue kebayang semua hal-hal yang menyangkut transportasi rakyat ini, rasanya mbrebes mili...


Nyaris setahun belakangan gue mulai intens menggunakan moda transportasi berbasis rel ini. Cepat dan bebas macet, itulah alasannya. Meskipun gue Cuma naik 3 petak stasiun aja. Tapi efek terhadap waktu tempuh perjalanan pulang kuliah terasa sangat signifikan. Lagipula gue paling engga betah kejebak macet ditambah kejepit didalam sebuah gubug berjalan bernama angkot. Apalagi kalo ditambah rasa pengen jaber. Ampun...

Memang, terkadang agak lama gue musti nunggu kereta ekonomi. Namun dengan berbagai perhitungan, gue pun merasa nyaman. Karena di stasiun ada Musholla, toilet, tukang makanan dan minuman ditambah *ahem* pemandangan Mahasiswi UI yang kece. Hihihi, darisitulah gue mulai rela bergelantungan dipintu sampai naik di kabin masinis yang tidak digunakan. Karena pada dasarnya gue bukan termasuk anak yang mendewa-dewakan kendaraan roda dua. Jalanan udah macet, gue pake motor ya tambah macet. Logikanya kalo semua orang punya pola pikir seperti itu, niscaya jalanan akan lengang seperti lapangan. Sayangnya enggak, ditambah keacuhan pemerintah dalam menyediakan moda transportasi massal yang aman, nyaman dan terjangkau untuk semua kalangan. 

Hari terus berlalu, pengurangan jadwal KRL Eko panas mulai semakin terasa, di jalur Tangerang sudah tinggal sejarah. Jalur Bekasi sisa satu rangkaian yang Cuma mondar-mandir pagi sama sore. Meskipun kalo siang agak tertolong sama KA Lokal Purwakarta, namun tetap saja menyebalkan. Tapi gue enggak sendirian, beberapa teman akrab di kampus pun juga bernasib sama, menggantungkan harapan selamat dan tepat waktu sampai tujuan diatas kaleng tua yang bertenaga listrik ini. Bahkan ada yang mantan “atapers”. Walaupun dia sekarang sudah sadar itu tindakan bodoh. Kami sering jalan bersama ke stasiun, terkadang jika waktu senggang kami jalan-jalan ke Bogor hanya untuk refreshing bolak-balik naik KRL. Terpaan angin, riuh celoteh pedagang sampai pengamen silih berganti. Mewarnai laju benda uzur bernama KRL Ekonomi.

Apakah yang pemerintah lakukan untuk kita? Kaum yang rela mengorbankan kenyamanan demi kepentingan bersama. Kami bukan personal egois yang hanya bisa mengumpat dibalik kemudi sambil membakar BBM Bersubsidi. Kami adalah komunal  yang sadar akan konsep transportasi massal. Karena hanya itu solusi kemacetan yang sesungguhnya. Bukan jalan layang, terowongan under pass apalagi jalan TOL. Tapi apa yang kita dapat? Keacuhan orang-orang berdasi yang hobi menunda subsidi untuk KRL Ekonomi.

Dibalik semua kegundahan, gue pun mencoba mengumpulkan semua kenangan-kenangan bersama Kereta Rakyat ini, dari mengumpulkan tiket sampai mengabadikannya dalam lensa kamera usang gue. Setidaknya nanti gue bisa punya cerita buat anak gue kelak, jika dahulu ada moda transportasi bernama KRL Ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar