Akhir-akhir ini gue dibuat gundah gulana oleh keputusan PT
KAI menghentikan operasional KRL Kelas 3. Oke mungkin ini terdengar berlebihan,
tapi itulah yang gue rasakan. Suasana bersama sepoi angin yang terus menerpa
gue saat berjibaku di pintu kereta tua akan musnah, termakan udara (yang
katanya segar) dari freon AC yang ngga dingin-dingin amat. Disini gue engga mau
sok pinter meghujat keputusan PT KAI dengan statement-statement yang enggak
berguna, karena gue tahu pasti mereka pun punya alasan tersendiri. Tapi kalo
gue kebayang semua hal-hal yang menyangkut transportasi rakyat ini, rasanya
mbrebes mili...
Nyaris setahun belakangan gue mulai intens menggunakan moda
transportasi berbasis rel ini. Cepat dan bebas macet, itulah alasannya. Meskipun
gue Cuma naik 3 petak stasiun aja. Tapi efek terhadap waktu tempuh perjalanan
pulang kuliah terasa sangat signifikan. Lagipula gue paling engga betah kejebak
macet ditambah kejepit didalam sebuah gubug berjalan bernama angkot. Apalagi
kalo ditambah rasa pengen jaber. Ampun...
Memang, terkadang agak lama gue musti nunggu kereta ekonomi.
Namun dengan berbagai perhitungan, gue pun merasa nyaman. Karena di stasiun ada
Musholla, toilet, tukang makanan dan minuman ditambah *ahem* pemandangan
Mahasiswi UI yang kece. Hihihi, darisitulah gue mulai rela bergelantungan dipintu sampai
naik di kabin masinis yang tidak digunakan. Karena pada dasarnya gue bukan
termasuk anak yang mendewa-dewakan kendaraan roda dua. Jalanan udah macet, gue
pake motor ya tambah macet. Logikanya kalo semua orang punya pola pikir seperti
itu, niscaya jalanan akan lengang seperti lapangan. Sayangnya enggak, ditambah
keacuhan pemerintah dalam menyediakan moda transportasi massal yang aman, nyaman
dan terjangkau untuk semua kalangan.
Hari terus berlalu, pengurangan jadwal KRL Eko panas mulai
semakin terasa, di jalur Tangerang sudah tinggal sejarah. Jalur Bekasi sisa
satu rangkaian yang Cuma mondar-mandir pagi sama sore. Meskipun kalo siang agak
tertolong sama KA Lokal Purwakarta, namun tetap saja menyebalkan. Tapi gue enggak sendirian, beberapa teman akrab di kampus pun
juga bernasib sama, menggantungkan harapan selamat dan tepat waktu sampai
tujuan diatas kaleng tua yang bertenaga listrik ini. Bahkan ada yang mantan
“atapers”. Walaupun dia sekarang sudah sadar itu tindakan bodoh. Kami sering
jalan bersama ke stasiun, terkadang jika waktu senggang kami jalan-jalan ke
Bogor hanya untuk refreshing bolak-balik naik KRL. Terpaan angin, riuh celoteh
pedagang sampai pengamen silih berganti. Mewarnai laju benda uzur bernama KRL
Ekonomi.
Apakah yang pemerintah lakukan untuk kita? Kaum yang rela
mengorbankan kenyamanan demi kepentingan bersama. Kami bukan personal egois
yang hanya bisa mengumpat dibalik kemudi sambil membakar BBM Bersubsidi. Kami
adalah komunal yang sadar akan konsep
transportasi massal. Karena hanya itu solusi kemacetan yang sesungguhnya. Bukan
jalan layang, terowongan under pass apalagi jalan TOL. Tapi apa yang kita
dapat? Keacuhan orang-orang berdasi yang hobi menunda subsidi untuk KRL
Ekonomi.
Dibalik semua kegundahan, gue pun mencoba mengumpulkan
semua kenangan-kenangan bersama Kereta Rakyat ini, dari mengumpulkan tiket sampai
mengabadikannya dalam lensa kamera usang gue. Setidaknya nanti gue bisa punya cerita
buat anak gue kelak, jika dahulu ada moda transportasi bernama KRL Ekonomi.