Hari ini saya kembali berkendara diatas dua pasang besi. Dengan perasan ria setelah dibuat jengkel dengan sistem sebuah instansi yang ngga bonavit-bonavit amat. Tapi yang paling menyenangkan adalah joyride hari ini dilaksanakan berdua dengan ayah tercinta. Sosok gagah yang mengenalkanku dengan perkeretaapian dinegara yang indah ini.
Seakan flashback ke masa lampau dimana bepergian dengan kereta api adalah hal yang sangat menyenangkan bagi saya pribadi. Ya, meskipun beberapa teman saya mengenal saya sebagai bismania. Tetapi secara tidak langsung jiwa railfans saya sudah melekat dari sejak kecil. Jika anda belum tau apa itu Bismania dan Railfans, dua kosakata tersebut mengandung makna hobi diluar mainstream yang mana menyukai hal-hal didunia per-bis-an maupun per-kereta-apian.
*saya bersama keluarga dan rangkaian sawunggalih utama, 1997*
Semasa kanak-kanak, ayah saya kerap kali mengajak saya untuk ikut ke tempat kerjannya yang kebetulan dekat dengan lintasan KA. Biasanya saat kerja lembur dan setelah itu beliau seringkali mengajak saya jalan-jalan naik kereta (Joyride). Dari yang membeli karcis sampai yang hanya nebeng. Saat itu saya begitu menikmati tiap putaran roda besi yang begitu menggetarkan, utamanya saat melewati wessel (percabangan rel). Begitu merdu ditelinga, setidaknya hati kecil saya berkata begitu. Dari jaman tiketnya masih tipe edmonson (bentuknya seperti karton).
Yang paling berkesan saat joyride jabodetabek (dulu hanya jabotabek) adalah ketika mencoba KRL Pakuan Ekspress Jakarta - Bogor yang mana dulu menggunakan rangkaian KRL Toei 6000.
*Eks rangkaian pakuan ekspress era 2003an*
Sekitar januari 2002 saya dan ayah saya pergi mengantar kakek saya ke kutoarjo. Berangkat naik bus, pulang naik kereta (komplit). Hanya sebentar memang, tapi saya diajak ayah saya mengenal lebih jauh stasiun kutoarjo, tempat bermainnya saat kanak-kanak. Yang paling saya ingat adalah saat saya diajak melihat tempat untuk membalik arah lokomotif (turn table). Saya senang sekali waktu itu, dan peristiwa itu masih melekat dibenak saya.
Terus terang saya memang kurang intens bepergian jarak jauh, itu berimbas ke jarangnya saya menggunakan kereta api jarak jauh. Kebetulan orang tua saya jarang "mudik lebaran". Tapi pada lebaran 2006 saya dan kakak saya berkesempatan untuk berlebaran dikampung halaman mengunjungi kakek saya. Saya naik KA Sawunggalih Utama pagi (Dulu Kutojaya Bisnis) dari stasiun Jatinegara yang mana saya tidak begitu bingung lantaran ayah saya banyak berkawan dengan pegawai stasiun yang mana semua membantu saya, kakak dan sepupu saya membawa barang ke dalam kereta. (Ketika itu KA jarak jauh masih berhenti normal distasiun jatinegara). Perjalanan mengesankan dimulai bersama hiruk pikuknya pedagang yang berseliweran menjajakan dagangannya.
Dulu begitu mudahnya menggunakan moda transportasi yang murah meriah ini (dulu ya, sekarang udah susah tiketnya, mahal pula). Asal punya uang cukup, saat nongkrong distasiun langsung beli tiket dapat saat itu juga. Naik KRL pun masih lebih manusiawi dibanding saat ini. Tapi ya begitulah perkeretaapian di 2012 ini, semoga bisa lebih baik lagi.
*kembali flashback*
Persepsi saya saat kanak-kanak yaitu kereta warna putih beserta lokomotifnya adalah kereta high class yang mana saat itu rasanya mustahil bisa menaiki kereta kelas argo secara reguler (pernah sekali, tapi cuma nebeng Jatinegara-Gambir). Saya kagum sekali. Saat diperlintasan saya pernah tertahan didalam mikrolet M04 bersama ayah. Beliau berkata, "bal, nih argo pasti yang lewat". Saya mengangguk sambil bersiap mengamati pemandangan yang indah itu. Ternyata yang lewat adalah rangkaian kereta barang, jauh berbanding terbalik dengan "kereta bangsawan" yang selalu mengundang decak kagum itu. Kami tertawa bersama, sungguh moment yang indah. Belakangan saya baru tau kalau itu rangkaian KA Batu bara.
Darisitu banyak yang bisa saya pelajari, seperti bisa menunggu sabar diperlintasan. Berhenti beberapa menit demi keselamatan bersama, menikmati deru roda besi. Saya begitu jengkel manakala mobil yang saya tumpangi menerobos begitu saja palang pintu yang sudah mulai menutup. Sungguh menyeramkan, Saya pun pernah menyaksikan orang bodoh nyaris terhantam lokomotif yang sudah lusinan meter dari ujung nyawanya. Sungguh BODOH.
Banyak sebenarnya yang ingin saya curahkan, namun memang saya agak sulit untuk menuangkan apa yang sudah lampau kedalam tulisan.
Bogor, 01-09-2012
Muhamad Ikbal Bachtiar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar